Narkoba = Obat yang dilarang penyalahgunaannya

Belakangan ini ada kesan penyalahgunaan narkoba (narkotik dan bahan-bahan berbahaya) terjadi kaena ‘barang’-nya (narkoba) ada. Untuk itu jika ingin tidak ada pecandu maka hilangkan narkoba dari negeri ini. Inilah yang menucul pada perbincangan ‘Kampanye Tolak Narkoba’ di tvOne (28/2-2011).
Jika berpijak pada fakta maka penyalahgunaan narkoba tidak terjadi semerta karena ‘barang’-nya ada. Ini sejalan dengan rokok dan meniman beralkohol yang dijual bebas tapi tidak semua orang merokok dan minum minuman yang mengandung alcohol. Jadi, pernyataan tiga aktivis yang diwawancarai tvOne di Wisma Nusantara Jakarta (28/2 pagi) tidak objektif.
Mereka menyalahkan pemerintah yang tidak bisa menghilangkan narkoba dari Indonesia. Pernyataan itu didukung pula oleh host tvOne dengan mengatakan ‘hilangkan (maksudnya nakoba-pen.) dari negara ini. Ada kesan ‘barang tidak ada pecandu tidak ada’. Ini pikiran yang naïf. Soalnya, bisa saja orang membelinya di luar negeri. Maka, bukan karena barang ada otomatis ada penyalahgunaan.
Narkoba adalah obat. Kalau narkoba tidak ada puluhan bahkan ratusan orang akan meregang nyawa di meja operasi. Pembedahan bisa dilakukan tanpa menimbulkan kesakitan adalah dengan obat anestesi (dikenal sebagai obat bius) yaitu morfin (ini termasuk narkotik). Tanpa narkotik apakah operasi bisa dilakukan?Tentu saja tidak karena maksud menyebuhkan penyakit tapi kematian yang datang karena tidak kuat menahan rasa sakit.
Sebuah spanduk di pintu tol Serang Timur tahun lalu bertuliskan: TEBAS NARKOBA (Banten Bebas Narkoba). Ini menunjukkan pemahaman yang tidak komprehensif terhadap narkoba sebagai obat. Bayangkan, penduduk Banten akan mengerang kesakitan ketika menjalani operasi karena tidak ada narkotik (morfin). Atau, maaf, ada oang Banten yang mempunyai ilmu yang bisa mengganti nakoba ketika pembedahan.
Terkait dengan penentuan apakah seorang penyalahguna narkoba sebagai korban atau pengedar ditetapkan oleh hakim melalui sidang pengadilan. Keputusan hakim tentu saja berpijak pada alat bukti dan keterangan yang diperoleh polisi yang kemudian dikembangkan oleh jaksa sebagai tuntutan.
Penyalahgunaan narkoba termasuk perbuatan yang melawan hukum seperti diatur UU. Terkait dengan hukuman apakah rehabilitasi atau kurungan tergantung pada vonis hakim pada sidang pengadilan.
Dalam UU No 35/2009 tentang Nakotik pada pasal 1 ayat 13: “Pecandu Narkotika adalah orang yang menggunakan atau menyalahgunakan Narkotika dan dalam keadaan ketergantungan pada Narkotika, baik secara fisik maupun psikis.” Memang, ada hak pecandu narkoba untuk rehabiliasi seperti disebutkan pada pasal 54: ”Pecandu Narkotika dan korban Penyalahgunaan Narkotika wajib menjalani rehabilitasi medis dan rehabilitasi sosial.”
Testimoni (mantan) penyalahguna narkoba cenderung menyalahkan pihak lain: ”Barangnya ada.’ Seperti yang disampaikan tiga aktivis di tvOne. Ini tidak objektif karena biar pun ‘barang’-nya ada ternyata tidak semua orang ’terjerat’.
Begitu pula dengan restimoni Odha (Orang dengan HIV/AIDS) dari kalangan penyalahguna narkoba mengesankan mereka sebagai korban belaka sehingga bisa dimaafkan. Sedangkan yang tertular dari hubungan seksual dianggap sebagai ‘pendosa’. Cara-cara yang dilakukan beberapa kalangan ini menohok Odha yang tertular melalui hubungan seksual.
Pertanyaan yang sangat mendasar adalah: Apakah bisa dibuktikan seorang penyalahguna narkoba memang tertular melalui jarum suntik ketika memakai narkoba bersama-sama dengan jarum yang dipakai berganian?
“Saya tidak bisa memastkannya, Bang,” kata seorang mantan penyalahguna narkoba. Soalnya, kata dia, mereka juga melakukan hubungan seksual. Kecuali bisa dibuktikan yang laki-laki masih perjakan tulen dan perempuan masih gadis tingting.
Maka, yang diperlukan bukan menghilangkan narkoba tapi menjauhkan orang dari penyalahgunaan.